Jumat, 23 November 2018

Stereotipe dan Prasangka


Stereotipe







1. Pengertian Stereotipe
Ada beberapa pengertian stereotip, diantaranya :
Menurut Baron, Branscombe dan Byrne (2008 : 188), stereotip adalah kepercayaan tentang sifat atau ciri-ciri kelompok sosial yang dipercayai untuk berbagi.
Franzoi (2008 : 199) Stereotip adalah kepercayaan tentang orang yang menempatkan mereka kedalam satu kategori dan tidak mengizinkan bagi berbagai (variation) individual. Kepercayaan sosial ini dipelajari dari orang lain dan dipelihara melalui aturan-aturan dalam interaksi sosial
Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat
Stereotip merupakan komponen kognitif dari pertentangan kelompok, kepercayaan tentang atribut pribadi yang diakui oleh orang dalam satu kelompok atau kategori social. Stereotip tentang kelompok adalah keyakinan dan harapan bahwa kita fokus akan seperti apa anggota kelompok itu.
Stereotip mempengaruhi bagaimana seseorang memproses dan menginterprestasikan informasi. Stereotip dapat membawa orang untuk melihat apa yang mereka harapkan untuk melihat dan memperkirakan bagaaimana sering melihatnya.
Stereotip sering diartikan sebagai ejekan, juga merupakan gambaran-gambaran atau angan-angan atau tanggapan tertentu terhadap individu atau kelompok yang dikenai prasangka. Individu yang stereotip terhadap suatu kelompok atau golongan, sikap stereotip ini sukar berubah, meskipun apa yang menjadi stereotip berbeda dengan kenyataan. Misalnya : Stereotip mengatakan bahwa orang Yahudi itu lintah darat, penipu. Padahal banyak orang yahudi yang ramah dan jujur. Contoh lain yaitu orang yang secara ekonomi berlebih biasanya berpenampilan glamour,orang dari ekonomi pas-pasan berpenampilan sederhana

2. Macam-macam Stereotipe
Stereotip yang paling umum dimasyarakat kita berbasis pada gender dan keanggotaan di kelompok etnik atau pekerjaan. Stereotip gender adalah kepercayaan tentang perbedaan ciri-ciri atau atribut yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Orang lebih respek kepada laki-laki daripada perempuan dan faktor ini memainkan peran penting pada diskriminasi di tempat kerja bagi wanita. Kadang-kadang terjadi perempuan yang memiliki prestasi kerja yang tinggi tidak mendapatkan posisi yang sesuai prestasinya karena dia seorang perempuan. Stereotip gender cenderung mengatakan bahwa perempuan emosional, penurut, tidak logis, pasif, sebaliknya pria cenderung tidak emosional, dominan, logis dan agresif.

Stereotip atas pekerjaan, misalnya guru bijak, artis glamor, polisi tegas dan sebagainya. Stereotip cenderung menggeneralisasikan yang terlalu luas yang tak kenal perbedaan dalam satu kelompok dan persepsi yang kurang akurat pada seseorang. Tidak semua polisi tegas, tidak semua wanita emosional, tidak semua laki-laki dominan, dan tidak semua guru bijak.

3. Timbulnya Stereotipe
Orang tua dan orang dewaa lainnya secara tidak langsung menanamkan stereotip sejak dini. Anak-anak sejak lahir sudah diberi label oleh masyarakat menggunakan nama anak laki-laki untuk anak laki-laki dan perempuan untuk anak perempuan. Demikian juga dengan model dan warna pakaian untuk mereka.
Menurut Franzoi (2009 : 199) orang memperlihatkan sikap stereotip dengan maksud :
Berpikir cepat : memberikan informasi dasar untuk tindakan segera dalam suasana tidak tentu, informasi yang kaya dan berbeda tentang individu yang kita tahu secara pribadi, menampakkan berfikir sangat bebas untuk tugas lain.
Efisien dan memberi peluang kepada orang lain bergabung secara kognitif dalam aktivitas kebutuhan lain.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan mendorong timbulnya stereotip, yaitu :
Keluarga perlakuan ayah dan ibu terhadap anak laki-laki dan perempuan yang berbeda. Orang tua mempersiapkan kelahiran bayi yang berbeda atas laki-laki dan perempuan. Mereka juga menganggap bahwa bayi laki-laki kuat, keras tangisannya, sementara bayi perempuan lembut dan tangisannya tidak keras.
Teman sebaya : teman sebaya memiliki pengaruh yang besar pada stereotip anak sejak masa prasekolah dan menjadi sangat penting ketika anak di Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah atas. Teman sebaya mendorong anak laki-laki bermain dengan permainan laki-laki seperti sepak bola, sementara anak perempuan bermain dengan permainan perempuan seperti bermain boneka.
Sekolah : Sekolah memberikan sejumlah pesan gender kepada anak-anak. Sekolah memberikan perlakuan yang berbeda diantara mereka.
Masyarakat : Masyarakat mempengaruhi stereotip anak melalui sikap mereka dalam memandang apa yang telah disediakan untuk anak laki-laki dan perempuan mengidentifikasi dirinya. Perempuan cenderung perlu bantuan dan laki-laki pemecah masalah.
Media massa : melalui penampilan pria dan wanita yang sering terlihat di iklan-iklan TV maupun koran. Tidak hanya frequensi yang lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan tetapi juga pada jenis-jenis pekerjaan yang ditampilkan laki-laki lebih banyak dan lebih bergengsi daripada perempuan.
Dalam kenyataan, stereotip adalah “cepat berfikir” yang memberikan kita informasi yang kaya dan berbeda tentang individu yang kita tidak tahu secara pribadi.

4. Cara Meminimalisir Stereotipe
Jangan hanya memandang suatu kelompok atau individu dari satu sisi saja dan mengabaikan sisi lainnya yang merupakan sebuah kelengkapan dalam diri objek dan dilewatkan. Kita harus menyadari bahwa setiap individu terlahir dengan keunikan tersendiri sehingga tidak perlu disamakan dengan individu yang lain apalagi kelompok.Menumbuhkan rasa saling menghargai terhadap perbedaan pada suatu kelompok. Maka dari itu sudah saatnya masyarakat lebih objektif dalam menerima sebuah stereotipe yang hadir di tengah kehidupan bermasyarakat. Di antaranya menanamkan rasa toleransi dalam merajut sebuah keberagaman yang dimulai sejak dini, hal ini perlu dilakukan mengingat stereotipe dapat terus-menerus dilestarikan melalui komunikasi yang beredar di kalangan masyarakat, dan dapat diturunkan ke generasi berikutnya

Prasangka







1. Pengertian prasangka
Prasangka ditujukan bila anggota dari satu kelompok yang disebut “kelompok dalam” memperlihatkan sikap dan tingkah laku negatif dari kelompok lain yang disebut “kelompok luar”
Prasangka adalah penilaian dari satu kelompok atau individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok. Efek dari prasangka adalah merusak dan menciptakan jarak yang luas. Sering dikatakan bahwa prasangka adalah sikap sementara diskriminasi adalah satu tindakan. Prasangka dipengaruhi oleh pilihan tentang kebijakan public. Prasangka memiliki sumbangan terhadap oposisi yang lebih besar terhadap kegiatan pihak yang menyetujui.
Apakah stereotip dan prasangka betul-betul berbeda? Stereotip adalah kognitif dan prasangka adalah afektif. Meskipun dalam kenyataannya keduanya tercermin secara bersama-sama baik kognitif maupun afektif.
Prasangka dapat menjadi salah satu aspek distruktif tingkah laku sosial manusia, sering menghasilkan kegiatan yang menyedihkan, mengerikan dari tindak kekerasan. Prasangka sosial adalah gejala dari psikologi sosial.

2. Macam-macam prasangka
Prasangka tidak terbatas pada kelompok, ras, suku, Prasangka juga terdapat di antara kelompok agama, partai, juga orang yang kegemukan menjadi target prasangka dan stereotip yang negatif, bahkan lanjut usia juga diprasangkai sebagai orang yang tidak mampu lagi secara fisik dan mental.

Racism adalah prasangka ras yang menjadi terlembagakan, yang tercermin dalam kebijakan pemerintah, sekolah, dan sebagainya, dan dilakukan oleh hadirnya struktur kekuatan sosial.
Sexism prasangka yang telah terlembagakan menentang aggota dari salah satu jenis kelamin, berdasarkan pada salah satu jenis kelamin.
Ageism kecenderungan yang terlembagakan terhadap diskriminasi berdasar pada usia, prasangka berdasar pada usia.
Heterosexism keyakinan bahwa heteroseksual adalah lebih baik atau lebih natural daripada homoseksuality.
Sherif menjelaskan bahwa prasangka dimaksudkan sebagai suatu sikap yang tidak simpatik terhadap kelompok luar. Hal ini ditunjukkan dalam jarak sosial yang merupakan suatu posisi yang diberikan oleh para anggota kelompok yang berprasangka itu kepada kelompok lain dalam persoalan simpati.
Semakin bertentangan atau bermusuhan, bahkan saling membenci diantara dua kelompok, maka semakin jauh jarak sosial (social distance). Apabila situasi semacam ini berlangsung cukup lama, jarak sosial ini akan menjadi norma di dalam kelompok itu.
Penelitian menyatakan bahwa prasangka dapat menjadi satu ciri kepribadian umum. Dalam prosesnya, mereka menemukan bahwa orang berprasangka melawan kelompok lain cenderung menjadi berprasangka semua kelompok.
Apakah cirri-ciri dari kepribadian yang mudah berprasangka/ kepribadian authoritarian ditandai oleh : teguh, hambatan, prasangka, dan terlalu menyederhanakan. Autoritarian juga cenderung sangat etnosentrik, yaitu menempatkan kelompoknya sendiri pada pusat perhatian, biasanya dengan menolak kelompok lain.
3. Pembentukan dan Timbulnya Prasangka
Prasangka timbul dari adanya norma sosial. Prasangka terhadap orang  Negro sudah dimiliki oleh anak-anak Amerika sejak tahun-tahun prasekolah. Anak menyadari bahwa ia telah termasuk didalam kelompoknya, yaitu keluarganya dan meluas kepada bangsanya. Keluarga sebagai tempat bergabung melarang anaknya untuk bergaul dengan orang Negro karena menurut pendapatnya, orang Negro itu kotor, bodoh, dan sebagainya.  Larangan yang bersifat terus-menerus ini akhirnya berubah menjadi norma pada anak dan norma inilah yang digunakan untuk menilai orang lain.
Pada tahun 1935, Dodd dalam penelitiannya menemukan bahwa jarak sosial yang terbesar terletak pada kelompok keagamaan, sedangkan Pratho dan Melikan menemukan jarak sosial yang terbesar pada kelompok kebangsaan, karena sentiment dan aktivitas kebangsaan kuat sekali pada tahun 1935 itu.

Timbulnya prasangka dapat diperkuat oleh keadaan politik. Individu atau kelompok yang diliputi prasangka memiliki sikap serta pandangan yang tidak objektif dan wajar.
Gordon Allport (1958) menyimpulkan adanya 2 sumber penting timbulnya prasangka. Prasangka pribadi (personal prejudice) terjadi bila anggota dari kelompok sosial lain menerimanya sebagai ancaman terhadap kepentingannya sendiri. Prasangka kelompok (groub prejudice) terjadi bila seseorang sesuai dengan norma kelompok.

4. Sebab-Sebab Timbulnya Prasangka
Orang tidak dengan sendirinya berprasangka terhadap orang lain. Ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan seseorang berprasangka.
Orang berprasangka dalam rangka mencari kambing hitam.
Orang berprasangka karena memang sudah dipersiapkan didalam lingkungan atau kelompok untuk berprasangka.
Prasangka timbul karena adanya perbedaan, dimana perbedaan menimbulkan perasaan superior.
Prasangka timbul karena kesan yang menyakitkan atau pengalaman yang tak menyenangkan.

5. Usaha-Usaha Menghilangkan atau Mengurangi Prasangka
Usaha Preventif : berupa suatu usaha yang ,mencegah agar orang atau kelompok tidak terkena prasangka. Menciptakan suasana yang tenteram, damai, dan jauh dari rasa terkena prasangka. Menanamkan sejak kecil perasaan menerima orang lain meskipun ada perbedaan. Perbedaan bukan berarti pertentangan atau permusuhan. Memperpendek jarak sosial. Sehingga tidak timbul prasangka.
Usaha Kuratif : berupa usaha menyembuhkan orang yang sudah terkena prasangka, berupa usaha menyadarkan. Prasangak adalah hal yang merugikan dan tidak ada yang bersifat positif bagi kehidupan bersama. Usaha-usaha ini dapat dilakukan oleh media masa terutama Koran, tv, radio, dan lain-lain, serta dapat dilakukan oleh para pendidik, orangtua, tokoh-tokoh masyarakat, dan sebab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar